phone: +60 13-456 7365
Hisyam Shamsudin SU Persatuan

Siri 2




SATU KAJIAN:  Pengertian ‘Ulil-Albaab’ , FIKIR-FIKIRLAH WAHAI ANAK-ANAK.
Kata ‘ulil-albaab’, secara awam sering diterjemahkan sebagai ‘orang yang berakal’ atau ‘orang yang berfikir’. Pengertian ini tidak salah, tapi mungkin sudah saatnya kita memahami arti kata ‘ulil-albaab’ dengan lebih presisi lagi, sehingga setiap kata ‘ulil-albaab’ yang kita baca dalam Al-Qur’an akan menjadi lebih berbunyi dan bermakna lagi di dalam hati kita.
Sebagai contoh, kita lihat dua ayat dari firman Allah berikut ini: 




“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka (para Nabi) terdapat pengajaran bagi ‘ulil-albaab (diterjemahkan menjadi: bagi orang-orang yang berakal)…” Q.S. [12] : 111 





“Apakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb mu itu benar, sama dengan orang yang buta? Hanyalah ‘ulul-albaab (diterjemahkan: orang-orang yang berakal) saja yang dapat mengambil pelajaran.” Q.S. [13] : 19.

Kita semua berakal, punya nalar untuk berfikir. Tapi, jika ‘ulil-albaab difahami hanya sebagai ‘orang-orang yang berfikir’(zahir), ayat di atas seperti menjadi tidak akurat. Sebab pada kenyataannya, tidak semua orang dari kita yang berakal ini, mampu mengambil pelajaran dari kisah para nabi. 
Pada kisah Nabi Ibrahim, misalnya, bagaimana mungkin Beliau tega untuk membawa, dan kemudian meninggalkan istrinya Siti Hajar r.a. yang baru melahirkan Ismail as, dan Ismail as sendiri ketika itu masih seorang bayi merah, di tengah padang pasir mekkah yang tandus, tanpa bekal dan tanpa air, selama sebelas tahun lamanya? Sementara Nabi Ibrahim sendiri setelah itu justru pulang ke istrinya yang lain, Siti Sarah r.a., dan baru kembali menyusul mereka sebelas tahun kemudian. 
Tindakan beliau seakan-akan sangat tidak berperi kemanusiaan (dan jelas melanggar HAM!), walaupun pada akhirnya, dalam kehausan yang amat sangat, Ismail kecil menendang-nendang pasir dan muncullah dari sana sumber air zamzam. Siti Hajar yang berlari bolak-balik ke sana kemari mencari air antara bukit Shafa dan Marwa, hingga sekarang diabadikan dalam salah satu ritual ibadah haji. Baru bertahun-tahun kemudian Ibrahim a.s datang kembali ke tempat itu, untuk membangun Ka’bah bersama Ismail dan Hajar. Berabad-abad kemudian, tempat itu menjadi sebuah kota bernama Mekkah.
Kita, saat ini mungkin bisa memahaminya setelah tahu segala ‘akibat’ dari perbuatan Nabi Ibrahim yang meninggalkan anak istrinya di padang pasir tandus seperti itu. Bayangkan jika saat itu kita adalah orang tua dari Siti Hajar as, sementara menantu kita malah meninggalkan anak perempuan kita dan cucu kita yang baru lahir di sebuah padang pasir tandus begitu saja, sementara menantu kita itu malah kembali ke istri pertamanya. Apa kira-kira perbuatan kita sebagai orang tua siti Hajar? 
Atau, jika ‘ulil-albab dikatakan sebatas ‘orang yang berakal’ saja, bukankah banyak sekali orang muslim yang berakal tapi tidak memahami sikap Rasulullah yang harus beristri sembilan orang, atau tidak memahami kenapa hukum waris yang ketentuannya ada dalam Al-Qur’an, bahwa pihak laki-laki harus mendapat dua kali dari bagian pihak wanita? Atau, banyak sekali ayat di dalam Al-Qur’an yang kita tidak memahami maknanya lebih dalam, selain terjemahannya saja. Padahal kita semua berakal. 
Kita semua memiliki akal, tapi mengapa tidak semua dari kita mampu ‘menangkap’ pelajarannya seperti dikatakan ayat tadi? Apakah ayat itu salah? 
Ayat itu tidak salah. Hanya pada titik seperti ini kita perlu memahami makna ‘ulil-albaab dengan lebih presisi. Sebab sebenarnya tidak semua orang yang berakal adalah ‘ulil-albaab, dan ‘ulil-albaab tidak sepenuhnya sama dengan ‘orang yang memiliki akal’.
Jadi apa ‘ulil-albaab’ itu?
Yang pertama, adalah jasad. Jasad itu, ya jasad kita ini, dengan segala indranya dan seluruh alam semesta yang termasuk dalam ruang lingkup kejasadan kita ini. Termasuk juga di dalamnya adalah aspek psikis dan psikologis, seperti emosi, kecemasan, dan lain sebagainya. Aspek psikis dan psikologis ‘hanya’ selapis di bawah dunia jasad. Umumnya manusia di dunia ini menganggap dirinya adalah diri yang jasad ini.
Yang kedua, adalah yang disebut dengan jiwa, atau dalam terminologi Al-Qur’an disebut dengan Nafs. Nafs inilah yang sesungguhnya adalah diri kita yang sebenarnya. Itulah sebabnya kenapa ayat-ayat Qur’an, jika menyeru kepada diri kita yang sejati ini, diseru dengan ‘yaa ayyuhan-nafs, ya ayyuhan-nafsul muth’ma’innah, dan sebagainya.  Lebih dalam dan lebih khusus dari sebutan ‘yaa ayyuhan naas’. Nafs inilah yang dimintai pertanggungjawabannya pada saat kematian kelak, sementara jasad sendiri akan hancur menjadi tanah. Nafs ini pula yang pernah bersaksi di hadapan Allah di zaman azali dulu (Q.S. 7 : 172). 
Kenapa sebagian besar menusia tidak ingat bahwa ia pernah bersaksi di hadapan Allah dulu? Kenapa sebagian besar manusia tidak mampu melihat malaikat sebagaimana orang-orang suci, atau memahami hakikat dari sebuah takdir, bingung dengan kehendak Allah, dan lain sebagainya? Karena pada sebagian besar manusia, dirinya yang sejati masih terletak pada diri yang jasadnya, yang baru lahir mungkin hanya beberapa puluh tahun terakhir ini. Sementara nafs nya yang suci masih terkubur jauh di dalam sifat kejasadiyahannya, dan tidak diberi kesempatan untuk muncul, bangun, dan mengambil alih kendali diri.
Nafs berbeda dengan hawa-nafsu. Hawa nafsu lebih kepada, katakanlah secara sederhana, merupakan aspek kejiwaan yang terwarnai oleh aspek kebumian jasad. Jumlah hawa nafsu ini banyak sekali, dan sesuai dengan yang memberinya pengaruh (jasad), semua hawa nafsu mencintai apapun yang sifatnya keduniawian. Hawa nafsu, sesuai dengan namanya, adalah ‘hawa’ dari nafs
Aspek ketiga, adalah Ruh. Ini tidak akan dibahas di sini karena terlalu panjang. Tapi intinya, Ruh adalah yang menghidupkan nafs, sebagaimana energi yang ada dalam baterai. Nafs sendiri, kehadirannya menghidupkan jasad. Maka secara tidak langsung, Ruh juga menghidupkan jasad. Dalam topik ‘ulil-albaab ini, Ruh tidak perlu kita bahas.
Dalam elemen jasad dan nafs tadi, Allah memberi perangkat untuk hidup, untuk mencerap pengetahuan dan memahami dunianya, alam tempat ia diperintahkan untuk hidup, sesuai dengan levelnya. 
Pada jasad, Allah memberi indra seperti mata, telinga, dan lain sebagainya. Dari indranya, jasad memperoleh informasi dan fakta. Informasi dan fakta ini diolah dalam sebuah perangkat yang disebut akal, atau akal nalar (dalam otak). Akal merupakan perangkat nomor satu untuk mengolah segala bentuk informasi yang sifatnya material, lahiriyah dan mekanistik. Sesuai dengan level jasad, maka sedalam apapun tingkat pemikirannya, tidak akan jauh dari aspek lahiriyah-material, karena dunia akal jasad atau nalar ini adalah dunia material kita ini.

Pada nafs, Allah juga memberi perangkat yang ’sama’. Hanya saja, sesuai dengan alamnya, dunianya, indra maupun akal yang ada pada level nafs ini paling sesuai untuk mengolah informasi yang juga ada dalam ruang lingkup dunianya, level alam malakut, atau katakanlah secara sederhana, alam batiniyah. Nafs pun mempunyai akalnya sendiri, cara bernalar sendiri. Perangkatnya dinamakan ‘lubb’.




Jadi ‘lubb’ adalah akal bagi sang jiwa, sebagaimana nalar adalah akal bagi sang jasad. Sedangkan wilayah pemikiran akal jasad yang terinspirasi, terilhami, terwarnai, atau tertuntun dari pemikiran nafs, disebut fu’ad. Fu’ad hanya membawa ke arah pemikiran yang benar, karena diilhami atau dipengaruhi lubb (akalnya jiwa).


Lubb sendiri, dalam Al-Qur’an maupun oleh Al-Ghazali, disamakan dengan apa yang disebut sebagai ‘aql. Jadi, Lubb = ‘Aql. Sedangkan akal (nalar) jasad kita, adalah ‘aql (atau Lubb) dalam aspek yang terdangkal, dalam aspek yang terendah, dalam aspek yang ‘paling lahiriyah’nya.
Akal, lahiriyah dan batiniah, bisa memikirkan apa saja (walaupun jawaban akal jasad belum tentu benar). Karena itu, dikatakan bahwa akal itu menghadap ke segala arah, karena bisa mulai memikirkan apapun. Karena menghadap ke segala arah, model keseluruhan akal itu seperti bola. Lubb atau ‘aql adalah ‘akal atas’, nalar atau otak adalah ‘akal bawah’. Fu’ad adalah aspek dari akal atas.


GAMBAR RAJAH: JELASNYA ADALAH SEPERTI INI




Dengan demikian, untuk memahami pertanyaan-pertanyaan batin yang sifatnya hakikat, seperti memahami takdir, hakikat kehidupan, makna batiniyah ayat-ayat Qur’an, maupun perilaku ‘aneh’ para Nabi seperti kisah Nabi Ibrahim tadi, perangkatnya bukan nalar. Nalar tidak diciptakan untuk memahami hal-hal hakikat atau batiniyah. Nalar diciptakan untuk membantu manusia dalam mengolah hal-hal yang sifatnya lahiriyah.
Perangkat untuk memahami pertanyaan-pertanyaan ilahiyah, pertanyaan-pertanyaan hakikat tersebut, adalah Lubb (atau ‘aql), sebagaimana Allah memang menciptakannya untuk itu. Jangkauan ruang lingkup pemikiran lubb adalah jauh, jauh, jauh lebih luas daripada jangkauan pemikiran akal nalar.
Lalu mengapa sebagian besar manusia tidak juga mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan hakikat atau batiniyahnya sendiri? Karena sebagian besar manusia tidak (atau belum) punya lubb. Sebagaimana disebutkan tadi pada sebagian besar manusia, jangankan ‘aql nafs-nya, nafs nya sendiri pun jauh terkubur di dalam kejasadiyahannya sendiri.
Maka dari itu, tujuan awal tasawuf adalah membebaskan manusia dari perbudakan jasadiyahnya sendiri. Ini yang disebut tazkiyatun-nafs, atau menyucikan nafs. Semakin seseorang nafs-nya menjadi suci dan lubb-nya semakin hidup, maka dengan sendirinya ia akan semakin memahami persoalan-persoalan hakikat, persoalan batiniyah, maupun persoalan malakutiyyah. Bukan hal yang aneh apabila seseorang pada tingkatan ini tiba-tiba memahami sesuatu tanpa belajar dari siapapun atau tanpa membuka buku, misalnya. Ini karena lubb-nya sudah hidup dan bekerja.
Lalu apa hubungannya dengan makna ‘ulil-albaab?
Nah, yang dikatakan ‘ulil-albaab dalam Al-Qur’an, maknanya adalah mereka yang telah memiliki lubb, bukan sekedar memiliki akal (nalar). ‘Ulil-albaab adalah mereka yang sudah menggunakan lubb-nya untuk memahami persoalan. ‘albaab hubungannya dengan lubb.
Dan karena oleh Al-Ghazali lubb disamakan dengan ‘aql, maka setiap kata ‘ulil-albaab’ dalam Al-Qur’an juga mencakup apa yang disebut dengan ‘ya’qiluun’, mereka yang menggunakan ‘aql. Sekali lagi, dengan ‘aql, bukan akal. Dengan Q (’aql), bukan dengan K (akal).
Akal rasional hanyalah aspek paling dangkal dari ‘Aql, sebagaimana akal jasadi, sebrilian apapun, hanya merupakan aspek paling dangkal dari akal jiwa yang kita miliki.
Inilah yang disampaikan Al-Ghazali dalam bukunya Al-Munqidz min Adh-Dhalal: ketika ia telah sampai pada ujung kemampuan rasionya dalam mencari Kebenaran sebagai seorang filosof , ia beralih menapaki jalan sufi. Dan ternyata, pada akhirnya ia mengatakan bahwa pengetahuan rasionalnya yang telah dipelajari seumur hidupnya, luasnya tidak sampai seruas jari jika dibandingkan pengetahuan yang terbuka kepadanya setelah Beliau berdisiplin menjalani jalan ini.
Kembali ke contoh ayat di awal tadi. Hanya para ‘ulil-albaab sajalah yang bisa mengambil pelajaran dari manapun, dan mereka mampu memahami ayat-ayat Al-Qur’aan yang sifatnya mutasyabihaat (mengandung makna yang terselubung, tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud). Untuk memahami ayat-ayat mutasyabihaat bukan dengan pemikiran rasional atau nalar, tapi dengan lubb. Kita perhatikan ayat berikut:

“Dia lah yang menurunkan Al-Kitaab kepada kamu. Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itu lah pokok-pokok isi Al-Qur’an. Dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihaat.
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihaat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah.
Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihaat, semuanya itu datang dari sisi Rabb kami.”
Dan tidak akan dapat mengambil pelajaran kecuali ‘ulul-albaab.”
(Q.S. [3] : 7) 


“(Al-Qur’an) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, supaya mereka diberi peringatan dengannya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah ilah yang satu, dan agar ‘ulul-albaab dapat mengambil pelajaran.”
(Q.S. [14] : 52)
Jika kita manusia yang sudah memiliki akal, tapi masih bingung dengan takdir kita yang mungkin tidak menyenangkan, dengan musibah, dengan makna hidup, dengan perilaku para Nabi yang tidak sesuai dengan kehendak kita, bingung dengan kehidupan, bingung kenapa harus ada bencana, atau tidak mampu memahami ayat-ayat mutasyabihaat dalam Al-Qur’an, artinya kita memang berakal, tapi belum termasuk ke dalam golongan ‘ulil-albaab.
Wallahu ‘alam,

0 comments: