phone: +60 13-456 7365
Hisyam Shamsudin SU Persatuan

Siri 4


        Pendahuluan:  Penyucian jiwa dan qalbu yang merupakan pangkal bagi lahirnya 
akhlak mulia, adalah unsur penting bagi berlangsungnya kekuatan serta kewibawaan suatu bangsa.[1] Dan itu merupakan salah satu tugas utama yang karenanya Allah ‘Azza wa Jalla mengutus nabiNya, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.[2] Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, di antaranya:
لَقَدْ مَنَّ اللهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُوا عَلَيْهِمْ ءَايَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَّفِي ضَلاَلٍ مُّبِينٍ . آل عمران: ١٦٤
             Sesungguhnya Allah telah member karunia kepada orang-orang beriman ketika 
Allah mengutus seorang Rasul (Muhammad) di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri; yang membacakan kepada mereka ayat-ayatNya, menyucikan jiwa mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab (al-Qur’an) dan Hikmah (Sunnah), meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (QS. Ali Imran/3 : 164)
                          Ayat ini menjelaskan, di antara tugas utama Rasulullah 
 shallallahu ‘alaihi wasallam adalah membersihkan jiwa manusia serta mengajarkan al-Qur’an dan hikmah. Yang dimaksud hikmah di sini adalah Sunnah Beliau sendiri n dan maksud-maksud serta rahasia-rahasia yang terkandung di balik syari’at.[3] Jadi isi al-Qur’an al-Karim, seluruhnya sudah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, baik lafaz, ma’na, kandungan serta rahasia-rahasianya.  Begitu pula wahyu-wahyu Allah lainnya yang berupa Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, orang dikemudian hari tidak perlu mencari sendiri ma’na-ma’na rahasia di balik ayat al-Qur’an tersebut berdasarkan perasaan, logika atau gagasan pribadi. Yang perlu dilakukan adalah mencari ma’na-ma’nanya melalui riwayat-riwayat yang shahih dari Nabi atau dari para Sahabat Nabi, melalui penjelasan para ulama.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ (وَفِى رِوَايَةٍ : صَالِحَ) اْلأَخْلاَقِ. أخرجه البخاري فى الأدب المفرد والحاكم وغيرهما

                  Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak 
yang mulia (dalam riwayat lain : yang shaleh). Hadits Shahih yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari di dalam kitab al-Adab al-Mufrad, Imam al-Hakim dll.[4]
Tujuan Pembersihan Jiwa:   Tujuan pembersihan jiwa adalah ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya, takwa hanya dapat terwujud melalui pembersihan serta penyucian jiwa.  Sementara, kebersihan jiwa juga tidak dapat terjadi tanpa takwa. Jadi keduanya saling terkait dan saling membutuhkan. Itulah mengapa Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَنَفْسٍ وَمَاسَوَّاهَا . فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا . قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا . وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا الشمس: ٧١٠

             Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya, maka Allah mengilhamkan 
kepada jiwa itu (perilaku) kejahatan dan ketakwaannya. Sungguh beruntung orang yang menyucikannya, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya. (QS. Asy-Syams/91 : 7-10)
Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa seseorang dapat membersihkan jiwanya melalui ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Begitu pula firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَلاَ تُزَكُّوا أَنفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى النجم: ٣٢
Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Allah lebih mengetahui tentang siapa yang bertakwa. (QS. An-Najm/53: 32). Serta firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَسَيُجَنَّبُهَا اْلأَتْقَى . الَّذِي يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّى الليل: ١٧١٨
Dan orang yang paling bertakwa akan dijauhkan dari api neraka, yaitu orang yang menginfakkan hartanya serta menyucikan dirinya. (QS. Al-Lail/92: 17-18)
Kedua ayat ini menjelaskan bahwa pembersihan jiwa pada hakikatnya adalah ketakwaan kepada Allah.[5] Dan memang tujuannya adalah ketakwaan kepada Allah. Di sini perlu juga difahami dengan baik sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berikut:
اَللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا، وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا. رواه مسلم
Ya Allah! Anugerahkanlah ketakwaan pada jiwaku, bersihkanlah ia, Engkau adalah sebaik-baik yang membersihkan jiwa. Engkaulah Penguasa dan Pemiliknya. HR. Muslim.[6]
Dengan qalbu serta jiwa yang bersih dan bertakwa, akan tercapailah maksud diciptakannya manusia. Yaitu hanya beribadah dan menyembah kepada Allah saja.
Allah berfirman:
وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ الذاريات: ٥٦
Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepadaKu saja. (QS. Adz-Dzaariyaat/51 : 56)
Cara-cara membersihkan jiwa dan qalbu
Dalam hal ini tidak ada cara-cara tertentu yang diperbolehkan selain cara-cara syari’at. Bahkan seluruh syari’at Islam, baik yang menyangkut masalah aqidah maupun masalah hukum, dari masalah yang paling besar hingga masalah paling kecil, semuanya berujung pada, ketakwaan, pembersihan jiwa dan peribadatan hanya kepada Allah semata.[1]
Penjelasannya adalah melalui contoh-contoh berikut:
1- Tauhid merupakan pembersihan jiwa.
Tauhid ialah meng-Esakan Allah dengan melakakukan peribadatan dan penyembahan hanya kepadaNya saja.[2] Segala peribadatan yang berbentuk permohonan, cinta, takut, tawakal, taat, malu dan lain-lain dari gerakan-gerakan hati, lidah maupun anggauta badan, hanya dipersembahkan kepada Allah saja, dengan mengikuti ketentuan syari’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saja.
Tauhid yang intinya adalah penyembahan hanya kepada Allah saja ini merupakan penyucian jiwa yang paling besar dan paling penting. Sebab, itulah  tujuan pokok diciptakannya manusia dan jin. Orang yang bersih tauhidnya adalah orang yang bersih jiwa dan hatinya.
Lawan dari tauhid adalah syirik. Jika tauhid merupakan kebersihan jiwa yang paling besar, maka kemusyrikan merupakan kotoran jiwa yang paling besar.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسُُ التوبة: ٢٨
Sesungguhnya orang-orang musyrik adalah orang-orang yang najis. (QS. At-Taubah/9 : 28)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah dan Imam asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud najis dalam ayat itu bukanlah najis dalam arti fisik. Tetapi najis jiwa dan agamanya.[3]
Dengan demikian, jika orang ingin melakukan proses pembersihan jiwa, maka hal pertama dan paling utama untuk dilakukan adalah membersihkan tauhidnya dari segala macam syirik. Misalnya tidak datang untuk meminta sesuatu kepada dukun atau orang ‘pintar’, tidak meminta-minta kepada kuburan orang shaleh dan tidak ngalap berkah ditempat-tempat keramat atau kuburan-kuburan yang diagungkan.
2- Wudhu’
Wudhu’ juga merupakan proses penyucian jiwa, di samping membersihkan fisik dari kotoran yang melekat pada anggauta fisik tertentu. Imam Nawawi rahimahullah, dalam Riyadhus Shalihin,[4] membawakan satu ayat tentang keutamaan wudhu’ ini, yang artinya:
Wahai orang-orang yang beriman! , Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan usaplah kepalamu, dan basuhlah kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang suci; usaplah wajahmu dan tanganmu dengan debu itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni’matNya bagimu, agar kamu bersyukur. (Al-Ma’idah/5 : 6)
Beliau juga membawakan hadits-hadits yang menjelaskan bahwa barangsiapa berwudhu’ dengan benar dan baik, maka kotoran-kotoran jiwanya, berupa dosa dan kesalahan-kesalahannya akan lenyap. Di antaranya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوْءَ، خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مِنْ جَسَدِهِ حَتَّى تَخْرُجَ مِنْ تَحْتِ أَظْفَارِهِ. رواه مسلم
Siapa yang berwudhu’, dan ia memperbagus wudhu’nya, maka akan keluar kesalahan-kesalahan dirinya dari jasadnya hingga keluar pula melalui bawah kuku-kukunya. HR. Muslim.[5]
Jadi, kegiatan ibadah wudhu’pun sebenarnya merupakan pembersihan jiwa dari kotoran-kotoran dosa.
Demikian pula tayamum serta mandi besar, baik mandi junub, mandi jum’at maupun mandi hari raya. Tentu dengan syarat ikhlas dan diniatkan sebagai peribadatan sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
3- Shalat
Shalat juga merupakan pembersihan serta penyucian jiwa. Karena shalat itu dapat menyingkirkan kotoran-kotoran yang berupa perbuatan keji dan munkar.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ العنكبوت: ٤٥
Sesungguhnya, shalat akan mencegah perbuatan keji dan munkar. (QS. Al-’Ankabuut/29 : 45)
Sesungguhnya di dalam shalat terkandung tiga unsur penting: ikhlas, takut kepada Allah, dan zikir serta mengingat Allah.
Unsur ikhlas akan mengendalikan pelakunya untuk berbuat kebaikan. Sedangkan unsur takut kepada Allah akan menghalangi pelakunya dari perbuatan munkar. Adapun unsur zikir serta mengingat Allah akan menjadikannya selalu waspada untuk tidak terjerumus ke dalam kejahatan.
Shalat juga merupakan hubungan antara seorang hamba dengan Allah. Pelakunya akan merasa malu ketika menghadap Allah sedangkan ia membawa dosa-dosa besar serta perilaku-perilaku keji.[6]
4. MENGAMALKAN WIRID-WIRID KHUSUSIAH MENGIKUT SANAD YANG BENAR DAN MENGIKUT ATURAN GURU MURSHID KAEDAH PARA ULAMA TASAWUF/ SUFI ALLAH.
5- Zakat
Zakat yang merupakan salah satu rukun Islam, juga ibadah yang membersihkan jiwa. Zakat ini akan dapat membersihkan jiwa dari sifat kikir dan bakhil, serta membersihkan diri dari dosa-dosa.[7]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ  التوبة: ١٠٣
Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan (jiwa) mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (QS. At-Taubah/9: 103)
Zakat fitri, shadaqah-shadaqah lain serta infak, baik wajib maupun sunat, semuanya juga merupakan ibadah yang membersihkan jiwa dan harta dari kotoran-kotaran dosa.
6-     Demikian pula ibadah puasa, haji serta menyembelih hewan korbanpun adalah amaliah ibadah yang membersihkan jiwa.
Bahkan seluruh syi’ar yang disyari’atkan dalam Islam adalah amal ibadah yang berfungsi membersihkan jiwa menuju kebaikan, ketakwaan serta peribadatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja.
Penutup
Berdasarkan pemaparan singkat di atas, dapat difahami bahwa pembersihan jiwa hanya dapat terwujud dengan memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam secara benar, mulai yang paling pokok hingga menyingkirkan sesuatu yang mengganggu dari jalan ALLAH.
Barangsiapa yang menjalankan ketetapan-ketetapan Islam sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, berarti ia selalu membersihkan jiwanya. Dan barangsiapa yang enggan mengamalkan ajaran Islam atau mengamalkannya tetapi tidak berpedoman pada tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, berarti ia adalah orang yang mengotori jiwanya. Bahkan barangsiapa yang berusaha membersihkan dan menyucikan jiwa serta qalbunya, tetapi tidak berdasarkan syari’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, berarti ia justeru sedang mengotori jiwanya. Sebab syari’at Islam adalah syari’at yang sudah sempurna dan lengkap, tidak memerlukan penambahan, apalagi pengurangan.
Maka “Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya, dan sungguh merugi orang yang mengotori jiwanya“.(Asy-Syams: 9-10).
Ya Allah, bimbinglah kami menjadi orang-orang yang bersih jiwanya dan jadikanlah sebagai  orang-orang yang beruntung. Wallahu Waliyyu at-Taufiq.
RUJUKAN:

[1] Al-Hilaly, Salim bin ‘Id, Syaikh, Manhaj al-Anbiya’ Fi Tazkiyati an-Nufus, KSA, Dar Ibnu Affan, cet. I, 1412 H/1992 M. hal. 15
[2] Ibid. h. 21
[3] As-Sa’di, Abdur rahman bin Nashir, Syaikh, Taisir al-Karim ar-Rahman, QS. Ali Imran: 164.
[4] Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dll, lihat Al-Adab al-Mufrad karya Imam al-Bukhari, bi takhrijat wa ta’liqat : Syaikh al-Albani, Daar ash-Shiddiq, Jubail, KSA, cet. II, 1421 H/2000 M, hal. 100-101, no. 273. Lihat pula Silsilah Shahihah, no. 45.
[5] Al-Hilaly, Salim bin ‘Id, Syaikh, Manhaj al-Anbiya’ Fi Tazkiyati an-Nufus. Op.Cit. h. 19-20
[6] An-Nawawi, Shahih Muslim Syarh an-Nawawi, tahqiq: Khalil Ma’mun Syiha, Dar al-Ma’rifah, cet. III, 1417 H/1996 M, XVII/43, no. hadits: 6844.
[7] Al-Hilaly, Salim bin ‘Id, Syaikh, Manhaj al-Anbiya’ Fi Tazkiyati an-Nufus. Op.Cit. h.59 dst.
[8] Lihat Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih, Syaikh, Syarh Tsalatsah al-Ushul, I’dad: Fahd bin Nashir as-sulaiman, Riyadh, Daar ats-Tsurayya, cet. III, 1417 H/1997 M, hal. 39
[9] Lihat Tafsir Ibnu Katsir, juz II, dan Tafsir Fathu al-Qadir juz II, QS. At-Taubah: 28
[10] Lihat Riyadhus-Shalihin, Daar Ihya’ at-Turats al-’Arabi & Maktabah al-Ghazali, Beirut, tanpa tahun, bab: Fadhlu al-Wudhu’, hal. 411 dst.
[11] An-Nawawi, Shahih Muslim Syarh an-Nawawi. Op.Cit. III/127, no. hadits: 577.
[12] Lihat al-Hilaly, Salim bin ‘Id, Syaikh, Manhaj al-Anbiya’ Fi Tazkiyati an-Nufus. Op.Cit. h. 63-64.
[13] Al-Hilali, Salim bin ‘Id, Syaikh, Bahjatu an-Nazhirin Syarh Riyadh ash-Shalihin, KSA, Daar Ibni al-Jauzi, cet. V, J. Ula, 1421, juz II, hal. 346.
[14] Kitab Siri, Tuan Guru Hj. Daud bin Hj. Omar Al-Libadi,Murshid Tarikat Ahmadiah, Masjid Bukit Abal, Pasir Putih, Kelantan.

0 comments: